Jumat, 09 Mei 2014

Implementasi Hak Asasi Manusia



Pendidikan Kewarganegaraan



Universitas Respati yogyakarta

2013



KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan karunianya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia. Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai kepedulian kita sebagai mahasiswa terhadap perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Seperti banyak kejadian atau peristiwa di Indonesia yang menyangkut dengan HAM misal nya kita bisa ambil contoh banyak terjadi keributan antar umat beragama, banyak kasus-kasus korupsi yang tidak terselesaikan dan belum lagi banyak nya gelandangan-gelandangan yang dimana mereka tidak mendapatkan HAM nya. Dalam makalah ini mungkin akan sedikit di bahas tentang Implementasi HAM di Indonesia.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.



Hormat Kami



Penulis





BAB 1
PENDAHULUAN


A.  Pengertian Implementasi & Hak Asasi Manusia
Secara sederhana implementasi bisa diartikan pelaksanaan atau penerapan. Majone dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2002), mengemukakan implementasi sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2004:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan”. Pengertian implementasi sebagai aktivitas yang saling menyesuaikan juga dikemukakan oleh Mclaughin (dalam Nurdin dan Usman, 2004). Adapun Schubert (dalam Nurdin dan Usman, 2002:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah sistem rekayasa.”
Sedangkan Dalam undang-undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999, dijelaskan pengertian hak asasi manusia (HAM) seperti dalam pasal 1 ayat (1), hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya. Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.
Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :
1.  Hak asasi pribadi / personal Right
- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
2.  Hak asasi politik / Political Right
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3.  Hak azasi hukum / Legal Equality Right
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4.  Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5.  Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6.  Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
Jadi secara keseluruhan Implementasi Hak Asasi Manusia adalah penerapan atau pelaksanaan hak-hak yang melekat pada diri manusia sejak dilahirkan dan hak-hak tersebut tidak dapat di ganggu gugat. Dan kita harus menjujung tinggi nilai-nilai dari hak asasi manusia tersebut.
B.  Latar Belakang Implementasi Hak Asasi Manusia
Hal-hal yang mendasari dalam pembuatan makalah ini adalah bagaimana kita sebagai mahasiswa menyikapi dari permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi di Indonesia. Karena penerapan HAM di Indonesia menurut pandangan kami masih kurang merata/keseluruhan karena masih ada saja HAM tersebut di injak-injak sehingga tidak mempunyai harga diri lagi. Persoalan hak-hak asasi manusia (HAM) merupakan masalah hukum dan politik yang saya geluti sejak akhir tahun 1960-an dan awal dasawarsa 1970-an melalui Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI). Pengalaman ini terkristalisasi sedemikian rupa dalam diri saya sebagai manusia Indonesia dan mempersubur kesadaran intelektual sayasebagai sarjana hukum ketatanegaraan untuk kemudian melakukan studi, antara lain mengenai pergulatan pemikiran para pemuka bangsa ini tentang HAM dalam perdebatan di Majelis Konstituante (1956- 1959). Di Indonesia terdapat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM  adalah sebuah lembaga mandiri di Indonesia yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya dengan fungsi melaksanakan kajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, investigasi, dan mediasi terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia.
Latar belakang muncul nya Hak Asasi Manusia :
a)    Akibat dari tindakan sewenang-wenang dan ketidak adilan, kezaliman, perbudakan
     dari penjajahan.
b)   Munculnya inisiatif manusia terhadap harga diri dan martabatnya

C.  Tujuan Implementasi Hak Asasi Manusia
Implementasi merupakan bentuk tindak lanjut atau penerapan, jadi tujuan dari Implementasi Hak Asasi Manusia adalah :
·      Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan PancasilaUUD 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
·      Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
·      Uuntuk mempertahankan hak-hak warga negara di Indonesia sewenang-wenang aparat negara dan mendorong tumbuh/berkembangnya pribadi manusia yang Multidimensional.
D.  Sasaran dari Implementasi HAM
Sasaran dari penerapan HAM ini adalah agar setiap manusia dapat menggunakan hak-hak nya sebagai warga negara Indonesia, bukan saling menginjak-injak atau merebut hak-hak dari mereka yang di ambil HAM nya. Misal nya hak untukmemperoleh keadilan, hak untuk kemerdekaan, hak untu mengemukakkan pendapatdan masih banyak hak-hak nya.

E.   Penerapan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia baru pada tahap kebijakan belum menjadi bagian dari sendi-sendi dasar kehidupan berbangsa untuk menjadi faktor integrasi atau persatuan. Problem dasar HAM yaitu penghargaan terhadap martabat dan privasi warga negara sebagai pribadi juga belum ditempatkan sebagaimana mestinya.Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Marzuki Darusman da-lam diskusi yang diselenggarakan Forum Diskusi Wartawan Politik (FDWP) di Wisma Surabaya Post Jakarta. Dalam diskusi itu diperbincangkan masalah hak asasi, politik dan demokrasi di Indonesia termasuk hubungan Komnas HAM dan pemerintah. “Pelaksanaan HAM di kita masih maju mundur. Namun itu tidak menjadi soal karena dalam proses,” kata Marzuki. Padahal jika melihat sisi historis, kata Marzuki, HAM di Indonesia beranjak dari amanat penderitaan rakyat untuk mewujudkan kemerdekaan dari penjajah. Begitu pula seperti tercermin dari Sila Kemanusiaan yang berpangkal dari falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bangsa Indonesia memiliki krisis multi dimensional sebagai akibat menumpuknya masalah ekonomi, social budaya, politik, hokum dan keamanan. Kondisi demikian sangat berpotensi untuk terjadi nya sebuah pelanggaran HAM. Pelanggaran Hak Asasi Manusia
banyak dilakukan oleh aparat terhadap warga negara dan sebaliknya, bahkan antar warga negara sendiri, hal tersebut sering kita saksikan baik secara langsung maupun melalui media elektronik maupun media cetak seperti:
·      Penganiayaan
·      Pemerkosaan
·      Kekerasan dalam rumah tangga
·      Penjualan anak dan perempuan
·      Pembakaran tempat ibadah.
Kondisi tersebut tidak boleh di biarkan begitu saja, karena akan berdampak pada mental anak cucu bangsa ini.  Contoh penerapan HAM dalam kehidupan sehari-hari, antara lain :
1.    Melarang anggota masyarakat untuk tidak main hakim sendiri dalam menghadapi pelanggaran HAM atau kejahatan yang terjadi di lingkungan masyarakat setempat.
2.    Memberi contoh/tauladan yang baik dalam kehidupan bermasyarakat seharhhari dengan berperilaku yang baik dan sopan misalnya dalam menjalankan kendaraan bermotor dijalan umum atau jalan raya dengan tidak mentang-mentang bahwa ia aparat kepolisian.
3.    Cepat tanggap dan membantu kesulitan yang terjadi di lingkungannya.
4.    Memberi pertolongan baik di llingkungan tugasnya maupun di tempat-tempat lain bila ada orang/anggota masyarakat yang memerlukan pertolongan.
5.    Sopan berkendaraan di jalan raya/umum, dengan mengikuti peraturan/rambu-rambu lalulintas yang berlaku.
6.    Dalam menggunakan fasilitas Rumah Tangga di-usahakan tidak mengganggu lingkungan disekitarnya.
7.    Ikut berpartisipasi dalam menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungan masyarakat dimana ia bertempat tinggal.
8.    Menahan diri apabila terjadi pertengkaran diantara sesama rekan atau tetangga dan berupaya menyelesaikan pertengkaran tersebut dengan baik dan terhormat, serta jangan ikut-ikutan main hakim sendiri.
9.    Melakukan kegiatan rumah tangga dengan tidak mengganggu ketenangan dan ketertiban tetangganya.
10.    Mentaati tata tertib lingkungan hidup sehari-hari di lingkungan masyarakat masing-       masing.
11.    Menghindari pertengkaran/adu fisik karena masing-masing merasa dirinya benar.
12.    Jangan mengembangkan perselisihan antar anak menjadi perselisihan antar orang tua.
          Mungkin saat ini yang sedang hangat-hangat nya dibicarakan oleh masyarakat kita adalah tentang Ahmadiyah. Seperti yang kita ketahui Ahmadiyah adalah aliran agama yang menyesatkan karena aliran tersebut mengaku bahwa Mirza Gulam Ahmad itu adalah nabi dan rosul nya. Ajaran tersebut jelas-jelas sudah menyimpang dari ajaran agama kita. Seperti yang firman Allah SWT yaitu  dalam QS AL AHZAB 40: ” Bukanlah Muhammad itu bapak salah seorang laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-nabi”. Tapi masih banyak masyarakat kita yang mempercayai bahwa Ahmadiyah itu aliran yang benar.
Hal ini merupakan salah satu penerapan HAM di Indonesia menurut saya kurang tepat karena masyarakat kurang merespon terhadap permasalahan ini yang sudah banyak memakan korban seperti insiden Cikeusik (Minggu, 06 Februari 2011). Pemerintah selalu memberi kelonggaran pada jamaah Ahmadiyah untuk tetap berkembang di Indonesia. Sehingga terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia yaitu Hak hidup, beribadah, hak atas dasar aman dan hak atas milik pribadi. Memang di negara kita mempunyai undang-undang yang berisi bahwa setiap warga negara bebas memeluk agama nya. Tapi dengan landasan seperti itu pemerintah seharusnya harus bisa menyikapi bahwa ahmdiyah itu bukanlah agama tapi aliran sesat yang cepat atau  lambat akan merusak generasi muda kita jika ahmadiyah tetap di ijin kan untuk tinggal dan hidup di Indonesia. Pemerintah yang hanya bisa memberikan kelonggaran pada jamaah ahmdiyah membuat sejumlah ormas masyrakat tidak tinggal diam. Masyarakat selalu menggelar demokrasi di sudut daerah agar pemerintah bisa bersikap tegas dan membubarkah ahmdiyah. Setiap pemimpin daerah pun sudahbersikap tegas terhadap jamaah ahmadiyah ini seperti yang di lakukan oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang merupakan kepala daerah yang pertama mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktivitas Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di wilayahnya. Surat tertanggal 28 Februari 2011 itu disampaikan Gubernur di depan anggota Forum Pimpinan Daerah (Forpimda) dan pimpinan sejumlah media massa di Gedung Negara Grahadi, Surabaya (28/2/2011). Dalam SK tersebut terdapat tiga pasal. Pertama, melarang aktivitas JAI yang dapat memicu dan/atau menyebarkan terganggunya ketertiban masyarakat Jawa Timur. Pasal kedua berisi empat poin; a) menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan, maupun melalui media elektronik; b) memasang papan nama organisasi JAI di tempat umum; c) memasang papan nama pada masjid, mushalla, lembaga pendidikan, dan lain-lain dengan identitas JAI; dan d) menggunakan atribut JAI dalam segala macam bentuknya. Gubernur Soekarwo menegaskan bahwa pihaknya tidak berwenang membubarkan ajaran Ahmadiyah. "Kami hanya bisa melarang aktivitasnya, bukan membubarkan, karena pusat yang berwenang (membubarkan). Urusan agama merupakan salah satu dari lima kewenangan pusat," ujarnya.
Banyak pihak-pihak yang mengecam ahmadiyah dan meminta pemerintah untuk membubarkan ahmadiyah karena aliran tersebut akan merusak akidah umat, seperti yang dikatakan oleh Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin mengungkapkan pemerintah bisa mempunyai alasan membubarkan Ahmadiyah. Pasalnya karena kelompok ini membawa paham yang mengganggu hak asasi umat Islam pada aspek yang fundamental yaitu akidah.
"Maka kemudian menimbulkan keresahan, itu bukan berarti pemerintah mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM)," kata Din di Jakarta, Jumat (4/3/2011). Banyak kalangan yang menyaran kan jika ahmadiyah ingin tetap tinggal di Indonesia maka buat lah agama baru jangan mengkaitkan aliran nya terhadap Islam karena ajaran Islam tidak menyimpang seperti itu. Hingga saat ini pun pemerintah belum berbuat apa-apa, pemerintah bergerak jika ada Insiden baru lahpemerintah mulai mencari kambinghitam dalam permasalahan ini. Alangkah baik nya pemerintah berfikir kenapa terjadi seperti ini, masyarakat tidak akan melakukan kekerasan jika tidak ada yang membuat masyarakat marah pada kasus ini masyrakat sudah bersabar dan tidak bisa bersabar lagi untuk menunggu pemerintah membubarkan ahmadiyah. Sebaik nya agar insiden Cikeusik tidak terulang lagi di daerah-daerah lainnya maka pemerintah secepatnya untuk membubarkan ahmadiyah tersebut.
F.   HAM untuk Mencegah Absolutisme Kekuuasaan Negara
Berdasarkan pemahaman tentang akar HAM, dalam sejarah perjuangan bangsa itu,
menurut hemat saya, persoalan penegakan HAM haruslah dilihat dari cita-cita bangsa untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa penyalahgunaan Kekuasaan Negara (abuse of power) merupakan ancaman paling efektif terhadap hak-hak asasi yang merendahkan martabat manusia sebagaimana dibuktikan selama 40 tahun terakhir. Terutama kecenderungan penguasa untuk membangun kekuasaan yang absolute. Cita-cita bangsa untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia tersebut dapat bahkan harus dijadikan alat ukur untuk menakar rejim-rejim yang pernah berkuasa setelah Indonesia merdeka. Adanya perlakuan sewenang-wenang terhadap hak-hak asasi manusia oleh penguasa dalam empat puluh tahun terakhir, baik apa dalam masa Orde Lama maupun Orde Baru, sudah menyimpang dari cita-cita bangsa untuk mengangkat martabat manusia Indonesia.
Kita mesti mengambil pelajaran penting dari kecanggihan rejim Orde Baru dalam
mengeliminir hak-hak asasi manusia dengan menggunakan berbagai instrumen politik. Secara sosial, HAM dikualifikasikan sebagai paham individualistik yang bertentangan dengan watak dan kepribadian bangsa Indonesia yang kolektivistik; secara politik HAM distigmatisasi sebagai paham liberalistik yang bertentangan dengan Pancasila; dan secara budaya diajukan argument partikularistik bahwa bangsa Indonesia memiliki hak-hak asasi sendiri (khas) yang didasarkan pada budaya bangsa. Pemikiran partikularistik tersebut dipakai untuk menolak watak universal dari HAM yang secara efektif memungkinkan dilahirkannya kebijakan politik, termasuk di bidang hukum, yang mengabaikan hak-hak asasi manusia. Bagi saya
sendiri, kecenderungan semacam itu -yang juga mewarnai zaman Orde Lama - dimungkinkan terjadi karena filosofi kenegaraan, staatssidee integralistik dari Soepomo, yang menjiwai UUD 1945 waktu itu, yang pada dasarnya menolak hak-hak asasi manusia, kendati di dalamnya ada beberapa pasal mengenai hak-hak warganegara. Seperti kita ketahui, hasil dari kecenderungan itu adalah absolutisme kekuasaan negara yang dipegang kepala negara (presiden).
Ini sebenarnya yang menjadi dasar bagi saya menawarkan constitutional government
atau constitutionalism sebagai alternatif pendekatan untuk memikirkan reformasi sistem politik dan pemerintahan di Indonesia, yang saya tawarkan jauh-jauh hari sebelum munculnya gerakan reformasi. Tawaran ini juga secara pro-aktif saya ajukan pada saat mulai munculnya gagasan untuk mengamandemen UUD 1945. Menurut paham ini, hak-hak asasi manusia yang secara tertulis harus secara ekspilit dan terrinci tertuang dalam konstitusi. Dengan demikian secara normatif hak-hak asasi manusia dan hak-hak warga negara maupun kewajiban negara terdeskripsikan secara jelas sebagaimana kerangka berpikir perumusan HAM PBB, mulai dari DUHAM dan berbagai konvensi/kovenan lainnya. Rumusan konstitusi akan menjadi ukuran atau takaran untuk membatasi kekuasaan negara, kekuasaan pemerintah
khususnya. Aturan normatif memang tidak dengan sendirinya berefek membatasi kekuasaan negara. Akan tetapi apa yang tertuang dalam konstitusi bisa menjadi dasar dan instrumen bagi masyarakat sipil, bagi rakyat, untuk menilai, bergerak dan melakukan tuntutan terhadap negara.
Jaminan konstitusional atas hak-hak asasi manusia memberikan dasar yang kokoh
bagi rakyat pemilik kedaulatan, yang nota bene memiliki dasar historis untuk ikut menentukan corak kekuasaan negara. Dimasukkannya hak-hak asasi manusia ke dalam UUD 1945, melalui amandemen dalam beberapa tahun terakhir ini, dapat dicatat sebagai langkah awal dalam menjabarkan cita-cita bangsa ini untuk menghormati dan meningkatkan harkat dan martabatnya, sekaligus meletakkan rambu-rambu untuk mencegah lahirnya kembali penguasa negara yang otoriter .
G. Supremasi Hukum Dalam Rangka Peningkatan Perlindungan HAM
Perlu dicatat, bahwa dari segi hukum, dalam sepuluh tahun terakhir ini ada sejumlah kemajuan penting mengenai upaya bangsa ini untuk melindungi HAM. Seperti diketahui, ada sejumlah produk politik yang penting tentang HAM. Tercatat mulai dikeluarkannya TAP MPR No. XVII/1998, kemudian amandemen UUD 1945 yang secara eksplisit sudah memasukkan pasal-pasal cukup mendasar mengenai hak-hak asasi manusia, UU No, 39/1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Setelah dilakukannya amandemen dengan sendirinya UUD 1945 sebenarnya sudah dapat dijadikan dasar konstitusional untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM. Adanya undang-undang tentang HAM dan peradilan HAM, merupakan perangkat organik untuk menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM atau sebaliknya penegakan supremasi hukum dalam rangka perlindungan HAM. Semua ini melengkapi sejumlah konvenan PBB tentang HAM seperti tentang hak-hak perempuan, hak anak atau kovenan
tentang anti diskrimnasi serta kovenan tentang anti tindakan kekejaman yang sudah diratifikasi.
Saya sendiri memang kurang puas dengan pasal-pasal tentang HAM yang sudah
tercantum dalam UUD 1945. tetapi, menurut hemat saya, akan lebih baik kalau pasalpasal
inti dari DUHAM, kovenan hak sipil dan politik, dan kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya secara komprehensif dimasukkan ke dalam UUD 1945. Namun demikian, dimasukkannya sejumlah hak dalam UUD 1945 tersebut dengan sendirinya mengandung makna simbolik dan menjadi dasar bagi diratifikasinya, khususnya dua kovenan yang amat monumental yaitu kovenan hak sipil dan politik serta kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya berikut protokol-protokolnya sebagaimana yang sudah diagendakan dalam Rencana Aksi Nasional HAM sejak 1998 walaupun tampaknya tidak berjalan dengan baik. Adanya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan peradilan HAM patut dicatat sebagai perangkat kelembagaan dasar peningkatan upaya penghormatan dan perlindungan HAM dengan peningkatan kelembagaan yang dapat dikaitkan langsung dengan upaya penegakan hukum. Saya mencatat, memang masih banyak kelemahan dari kedua lembaga tersebut, akan tetapi dengan adannya Komnas HAM dan peradilan HAM dengan sendirinya upaya-upaya peningkatan penghormatan dan perlindungan HAM ini memiliki dua pijakan penting, yaitu pijakan normatif berupa konstitusi dengan UU organiknya serta Komnas HAM dan peradilan HAM yang memungkinkan berbagai pelanggaran HAM dapat diproses sampai di pengadilan.
Dengan demikian, maka perlindungan HAM dapat diletakkan dalam kerangka supremasi hukum. Dengan demikian pula apa yang saya katakan di atas “perjuangan harus dipahami sebagai komitmen nasional” memperoleh pijakan legal, konstitusional dan institusional dengan dibentuknya kelembagaan yang berkaitan dengan HAM dan hukum. Namun demikian tidak berarti bahwa perjuangan HAM sebagaimana dilakukan lembaga-lembaga di luar negeri tidak penting. Peran masyarakat tetap penting, karena institusi Negara biasanya memiliki kepentingannya sendiri. Lebih bila dilihat dari logika penegakan HAM, dengan kekuasaan yang dimilikinya.
Negara, lebih khusus aparat pemerintah -terutama yang berurusan dengan keamanan dan pertahanan, termasuk yang paling potensial melakukan pelanggaran HAM. Tetapi sebaliknya Negara termasuk aparat kekuasaannya (Polisi dan Tentara) berkewajiban, bukan hanya melindungi, menghormati dan memberi jaminan atas HAM akan tetapi bila dilihat dari penegakan supremasi hukum maka pemerintah dituntut untuk semakin menyempurnakan dan membenahi perangkat hukum dan perundang-undangan yang kondusif bagi penegakan HAM.
Kalau demikian halnya, kemudian muncul agenda besar.
Pertama, menyempurnakan Produk-produk hukum, perundang-undangan tentang
HAM. Produk hukum tersebut perlu disesuaikan dengan semangat konstitusi yang secara eksplisit sudah memberi dasar bagi perlindunan dan jaminan atau HAM. Termasuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam konvensi/kovenan internasional tentang HAM, baik dari segi materi tentang HAM-nya itu sendiri maupun tentang kelembagaan Komnas HAM dan peradilan HAM.
Kedua, melakukan inventarisasi, mengevaluasi dan mengkaji seluruh produk hukum,
KUHP dan KUHAP, yang berlaku yang tidak sesuai dengan HAM. Banyak sekali pasal-pasal dalam berbagai UU yang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan HAM. Termasuk UU yang dihasilkan dalam lima tahun terakhir ini. Hal ini sebagai konsekuensi dari watak rejim sebelumnya yang memang anti-HAM, sehingga dengan sendirinya produk UU-nya pun sama sekali tidak mempertimbangan masalah HAM.
Dalam konteks ini, maka agenda ini sejalan dan dapat disatukan dengan agenda
reformasi hukum nasional dan ratifikasi konvensi/kovenan, internasional tentang HAM
yang paling mendasar seperti kovenan sipil-politik dan kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya berikut protocol operasionalnya. Dari segi ukuran maupun substansi serta permasalahannya hal ini merupakan agenda raksasa. Untuk itu pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan masyarakat yang memiliki perhatianyang sama seperti  kalangan LSM bidang hukum. Dan untuk itu pula perlu dibuat skala prioritas supaya perencanaannya realistis dan pelaksanaannya dilakukan bertahap.
Ketiga, mengembangkan kapasitas kelembagaan pada instansi-instansi peradilan
dan instansi lainnya yang terkait dengan penegakan supremasi hukum dan perlindungan HAM. Dalam kesempatan ini, saya tidak ingin ikut membicarakan persoalan memburuknya kondisi system peradilan kita, akan tetapi yang perlu diprioritaskan dalam pengembangan kelembagaan ini adalah meningkatkan kapasitas hakim, jaksa, polisi, panitera dan unsur-unsur pendukungnya dalam memahami dan menangani perkara-perkara hukum yang berkaitan dengan HAM.
Termasuk di dalamnya mengenai administrasi dan pelaksanaan penanganan
perkara-perkara hukum mengenai pelanggaran HAM. Ini harus disadari betul mengingat masalah HAM baru masuk secara resmi dalam beberapa tahun terakhir ini saja dalam sistem peradilan kita. Bahkan, perlu diakui secara jujur masih banyak, kalau tidak mau dikatakan pada umumnya, aparat penegak hukum kita yang tidak memahami persoalan HAM. Lebih-lebih untuk menangani perkara hukum di peradilan yang pembuktiannya amat pelik dan harus memenuhi standar Komisi HAM PBB. Oleh sebab itu institutional capacity building di instansi-instansi Negara yang terkait dengan masalah HAM ini menjadi amat penting dan mendesak.
Keempat, penting juga diagendakan adalah sosialisasi dan pemahaman tentang
HAM itu sendiri, khususnya di kalangan pemerintahan, utamanya di kalangan instansi
yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah HAM. Sosialisasi pemahaman HAM ini, lagi-lagi merupakan pekejaan raksasa, dan sangat terkait dengan penegakan profesionalisme aparat di dalam melaksanakan bidang kerjanya. Gamangnya aparat pemerintah dalam mengurusi dan ber-urusan dengan masyarakat yang partisipasi politik dan daya kritisnya makin meningkat ini disebabkan, antara lain bukan semata-mata karena kurang memahami mxsaasalah HAM, akan tetapi juga karena mereka umumnya kurang dapat melaksanakan  rambu-rambu  profesionalismenya. Ini berlaku bagi aparat sipil maupun aparat keamanan.
Kelima, tentu saja kerjasama dengan kalangan di luar pemerintahan, terutama
kalangan Ornop/LSM, akademisi/perguruan tinggi dan kalangan masyarakat lainnya yang memiliki kepedulian terhadap penegakan hukum dan HAM seharusnya menjadi agenda yang terprogram dengan baik. Bukan saatnya bagi instansi pemerintah tertutup dengan kalangan masyarakat sebagaimana terjadi di masa lalu. Dalam kerangka mengembangkan iklim yang lebih demokratis, kini saatnya kalangan pemerintah, bersikap lebih terbuka kepada masyarakat, lebih-lebih untuk keinginan bersama memajukan HAM dalam konteks penegakan hukum. Perlu disadari bahwa kalangan di luar pemerintah, seperti lembaga LBH /YLBHI, sudah lama berkecimpung di bidang penegakan HAM, sejak ketika HAM masih dipandang sebagai masalah sensitif atau bahkan subversif secara politik. Pengalaman panjang mereka dapat dimanfaatkan untuk penyempurnaan kebijakan pemerintah dalam penegakan HAM.



  

Refrensi

Diposkan oleh ahmad arian di 01.39
Reaksi: 

Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Pengikut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar